PELANGGARAN HUKUM BERAWAL DARI PELANGGARAN ETIKA

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.

            Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia. Menurutnya pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia, dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), etika adalah:

  • Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
  • Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak
  • Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya. Salah satu aspek tersebut adalah aspek hukum.

Hukum dan etika merupakan hal yang sering kita dengar dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kita menyimak ketiga hal tersebut, terdapat satu tujuan yang sama. Tujuan tersebut adalah untuk menciptakan kehidupan masyarakat harmonis dan humanis. Hukum dan etika timbul karena adanya interaksi antar manusia. Bila kita melihat lebih jauh tentang kedua hal tersebut, kita akan melihat keterkaitan yang sangat dekat. Kata kunci dari hukum dan etika ini adalah peraturan dan sanksi.

Menurut Aristoteles, hukum adalah kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.

Definisi “hukum” dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997):

  • peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
  • undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
  • patokan (kaidah, ketentuan).
  • keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan, vonis.

Posisi etika di kehidupan sosial lebih tinggi dari hukum formal. Untuk menjaga etika ini maka muncul hukum formal. Namun, tidak bisa semua etika diwujudkan dalam hukum formal. Namun, hukum formal muncul dari etika. Karena tidak mempunyai hukuman yang mengikat, banyak pihak yang memilih melanggar etika daripada hukum formal. Dan yang terjadi, banyak orang yang lebih malu melanggar hukum formal daripada etika.

Pelanggaran etika dianggap sebagai pelanggaran biasa atau common violations, bahkan banyak yang menganggap pelanggaran etika sebagai kebiasaan normal. Sementara itu, pelanggaran hukum formal dianggap sebagai pelanggaran luar biasa atau outstanding violations. Jika memang dilihat dari sanksinya memang akan terjadi seperti itu, namun jika dilihat dari tingkatan tentu bukan seperti itu. Etika mempunyai cakupan yang lebih luas daripada hukum formal.

Berikut adalah beberapa kasus yang pernah terjadi terkait dengan pelanggaran hukum yang berawa dari pelanggaran etika beserta opini pribadi:

1. Kasus KAP Anderson dan Enron

Kasus KAP Arthur Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.

Opini: Pelanggaran etika dan prinsip profesi akuntansi telah dilanggar dalam kasus ini, yaitu padaprinsip pertama berupa pelanggaran tanggung jawab profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat pada jasa professional seorang akuntan. Seorang akuntan seharusnya tidak hanya mementingkan kepentingan klien saja, tapi juga kepentingan publik. KAP Arthur Andersen tidak dapat memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik sebagai KAP yang masuk kategoti The Big Five dan tidak berperilaku profesional serta konsisten dengan reputasi profesi dalam mengaudit laporan keuangan dengan melakukan penyamaran data. Pelanggaran prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah dilanggar dalam kasus ini. Hal ini sangat merugikan publik karena infornasi yang diterima publik adalah informasi yang tidak mengandung unsur kebenaran dengan kata lain telah terjadi tindak penipuan. Pelanggaran prinsip ketiga yaitu KAP Arthur Andesen juga melanggar prinsip standar teknis karena tidak melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.

2. Pelanggaran Etika Ketua MK nonaktif Akil Mochtar

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan memecat Ketua MK nonaktif Akil Mochtar, Jumat 1 November 2013. Ia diberhentikan secara tidak hormat karena terbukti melanggar kode etik hakim. Pelanggaran yang dilakukan oleh Akil tak hanya satu, namun bertumpuk.

Terkait dengan penahanan ketua MK nonaktif ini, dikarenakan beberapa pelanggaran etika dan hukum yang dilakukannya. Pertama terkait dugaan bersalah dalam penyelesaian sengketa Pilkada Banyuasin di Sumatera Selatan dan sejumlah perselisihan pilkada di daerah lain. Akil juga diduga menggunakan kewenangannya sebagai hakim untuk membagi perkara antara panelnya dengan panel lain.

Kedua, terkait rekening dan transaksi tak wajar yang dimiliki Akil. Ketiga, terkait narkotika yang dimiliki Akil. Akil diduga menyimpan narkotika, yakni tiga lintung ganja utuh dan satu bekas pakai, dua pil inex ungu dan hijau seperti yang diujaran Harjono. Keepat terkait hobi Akil pelesir ke luar negeri yang berdasarkan keterangan saksi, Akil Mochtar sering pergi ke luar negeri dengan keluarga ajudan dan sopir tanpa pemberitahuan pada Sekjen MK, termasuk ketika ke Singapura pada 21 September 2012,” ujar Harjono. Dan kelima Kelima, terkait kepemilikan mobil-mobil mewahnya yang berdasarkan surat keterangan Ditlantas Polda Metro Jaya kepemiliknanya tidak terdaftar di Ditlantas. Ada kesan mobil itu dimiliki secara tidak sah.

Opini: Akil Mochtar terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Atas semua kesalahan itu, ia juga terbukti melanggar prinsip kepantasan, kesopanan, integritas, dan independensi dengan melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan, dan melanggar kode etik hakim konstitusi. Atas kesalahannya tersebuat Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip Etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

3. Etika dinasti politik Atut

Sangat mencengangkan jika melihat dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah karena tercatat sembilan pejabat di lima daerah di Provinsi Banten masih mempunyai hubungan saudara dengan Ratu Atut.

Keluarga ikut menjabat memang tidak menyalahi aturan apalagi jika memang kompetensi bisa dipertanggungjawabkan. Namun banyaknya keluarga yang juga duduk sebagai pejabat “di wilayah sendiri” menimbulkan prasangka bahwa ada yang tidak benar dalam proses pemerintahannya. Kecurigaan pada bagaimana proses pemilihannya hingga untuk melanggengkan kekuasaan tentu menjadi kasak-kusuk yang lumrah.

Ditambah dengan kasus yang menjeratnya saat ini yaitu ia tersandung dugaan suap Pilkada Lebak dan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang KPK Pondok Bambu, Jakarta Timur. Penahanan ini dilakukan KPK agar Atut tidak mempengaruhi saksi-saksi dan dikhawatirkan menghilangkan barang bukti. Adapun pasal yang menjerat Ratu Atut adalah Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.

Opini: Atut sebagai pemuncak dinasti politiknya semestinya sadar bahwa akan lebih baik mengedepankan etika daripada hukum formal. Apalagi jika dilihat dari posisinya sebagai pimpinan tertinggi di wilayah Banten. Seorang pemimpin yang baik tentu tidak hanya dilihat dari keteraturannya menjalani hukum formal, namun tidak terlepas pula dari etika. Kepantasan dari dinasti politik Atut akan semakin diuji tidak hanya oleh masyarakat selain itu proses hukum pun tengah berjalan seiring dengan kasus suap yang menimpa adiknya, Tubagus Chaery Wardhana yang saat ini tengah disidik oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).

Sumber :

http://www.hukumonline.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Etika

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum

http://www.scribd.com/doc/40228705/KASUS-ENRON

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ipem4430/etika21.htm

http://10menit.wordpress.com/tugas-kuliah/pengertian-etika/

http://funeducation4life.blogspot.com/2009/02/hubungan-hukum-etika-dan-norma.html

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/455489-dipecat–ini-deretan-pelanggaran-etika-akil-mochtar

http://nasional.sindonews.com/read/2013/10/09/16/792393/etika-dinasti-politik-atut

PELANGGARAN HUKUM BERAWAL DARI PELANGGARAN ETIKA

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

tugas softskill 2

I.                    Prinsip Kode Etik Profesi Akuntan Publik

Prinsip Pertama- Tanggung Jawab Profesi

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
Prinsip Kedua- Kepentingan Publik
Dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
Prinsip Ketiga- Integritas
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
Prinsip Keempat- Obyektivitas
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
Prinsip Kelima- Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan.
Prinsip Keenam- Kerahasiaan
Setiap Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya, anggota bisa saja mengungkapkan kerahasiaan bila ada hak atau kewajiban professional atau hukum yang mengungkapkannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
Prinsip Ketujuh- Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
Prinsip Kedelapan- Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.
II.                  Kewajiban Perusahaan dalam Menyajikan Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan salah satu media utama yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangannya kepada pihak luar. Laporan ini juga merekam peristiwa kejadian bisnis dalam bentuk unit moneter. Dengan disediakannya laporan keuangan maka keadaan ekonomi perusahan (yang dituangkan ke  dalam bentuk angka-angka moneter) tercermin dalam laporan keuangan tersebut. Untuk menganalisis laporan keuangan perusahaan, tentu saja diperlukan komponen-komponen laporan keuangan yang lengkap.
Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
III.                IFRS
PENGERTIAN IFRS
IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasioanal (IFAC).
Akuntan Publik dalam menghadapi Era IFRS
Sasaran konvergensi IFRS yang telah dicanangkan IAI pada tahun 2012 adalah merevisi PSAK agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012,” demikian disampaikan Ketua DSAK IAI Rosita Uli Sinaga pada Public Hearing Eksposure Draft PSAK 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan, di Jakarta Kamis 20 Agustus 2009 lalu.
Banyaknya standar yang harus dilaksanakan dalam program konvergensi ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi DSAK IAI periode 2009-2012. Implementasi program ini akan dipersiapkan sebaik mungkin oleh IAI. Dukungan dari semua pihak agar proses konvergensi ini dapat berjalan dengan baik tentunya sangat diharapkan.
Apalagi Undang-Undang No.5 Tentang Akuntan Publik memang sudah nyata-nyata memberikan lampu hijau bagi akuntan asing untuk berkiprah di kancah nasional. Secara tidak langsung, kompetisi tersebut bisa membuat akuntan Indonesia kehilangan pangsa pasar karena perusahaan-perusahaan di Indonesia memilih untuk merekrut akuntan asing.
Maka dari itu Akuntan Publik diharapkan dapat segera mengupdate pengetahuannya sehubungan dengan perubahan SAK, mengupdate SPAP dan menyesuaikan pendekatan audit yang berbasis IFRS. Akuntan Manajemen/Perusahaan dapat mengantisipasi dengan segera membentuk tim sukses konvergensi IFRS yang bertugas mengupdate pengetahuan Akuntan Manajeman, melakukan gap analysis dan menyusun road map konvergensi IFRS serta berkoordinasi dengan proyek lainnya untuk optimalisasi sumber daya.
Banyak hal dalam IFRS yangakan diadopsi brbeda dengan prinsip yang saat ini berlaku. Bberapa hal antara lain :
  1. Penggunaan Fair-value Basis dalam penilaian aktiva, baik aktiva tetap, saham, obligasi dan lain-lain, sementara sampai dengan saat ini penggunaan harga perolehan masih menjadi basic mind akuntansi Indonesia. Sayangnya IFRS sendiri belum memiliki definisi dan petunjuk yang jelas dan seragam tentang pengukuran berdasarkan nilai wajar ini.
  2.  Jenis laporan keuangan berdasarkan PSAK terdiri dari 4 elemen (Neraca, Rugi-Laba dan Perubahan Ekuitas, Cashflow, dan Catatan atas Laporan keuangan). Dalam draft usulan IFRS menjadi 6 elemen (Neraca, Rugi-Laba Komprehensif, Perubahan Ekuitas, Cashflow, Catatan atas Laporan keuangan, dan Neraca Komparatif). Penyajian Neraca dalam IFRS tidak lagi didasarkan pada susunan Aktiva, Kewajiban dan Ekuitas, tapi dengan urutan Aktiva dan Kewajiban usaha, Investasi, Pendanaan, Perpajakan dan Ekuitas. Laporan Cashflow tidak disajikan berdasarkan kegiatan Operasional, Investasi dan Pendanaan, melainkan berdasarkan Cashflow Usaha (Operasional dan investasi), Cashflow perpajakan dan Cashflow penghentian usaha.
  3. Perpajakan perusahaan, terutama terkait pajak atas koreksi laba-rugi atas penerapan IFRS maupun atas revaluasi aktiva berdasarkan fair-value basis. 
Tujuan IFRS
Memastikan laporan keuangan intern perusahaan untuk periode-periode yang dimasukan dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi.
Transparasi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan.
Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS
Dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna.
Manfaat dari adanya suatu standard global IFRS
1.       Pasar modal menjadi global dan modal investasi dapat bergerak di seluruh dunia tanpa hambatan berarti. Stadart pelaporan keuangan berkualitas tinggi yang digunakan secara konsisten di seluruh dunia akan memperbaiki efisiensi alokasi local
2.       Investor dapat membuat keputusan yang lebih baik
3.       Perusahaan-perusahaan dapat memperbaiki proses pengambilan keputusan mengenai merger dan akuisisi
4.       Gagasan terbaik yang timbul dari aktivitas pembuatan standard dapat disebarkan dalam mengembangkan standard global yang berkualitas tertinggi.
Sumber :
Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

tugas etika profesi akuntansi

Akuntansi sebagai Profesi dan Peran Akuntan

Profesi akuntansi merupakan sebuah profesi yang menyediakan jasa atestasi maupun non. Atestasi kepada masyarakat dengan dibatasi kode etik yang ada. Akuntansi sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.Dalam arti sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit, akuntansi, pajak dan konsultan manajemen.
Profesi akuntansi merupakan sebuah profesi yang menyediakan jasa atestasi maupun non atestasi kepada masyarakat dengan dibatasi kode etik yang ada.
Jenis Profesi yang ada antara lain :

  • Akuntan Publik
    Akuntan publik merupakan satu-satunya profesi akuntansi yang menyediakan jasa audit yang bersifat independen. Yaitu memberikan jasa untuk memeriksa, menganalisis, kemudian memberikan pendapat / asersi atas laporan keuangan perusahaan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
  • Akuntan Manajemen
    Akuntan manajemen merupakan sebuah profesi akuntansi yang biasa bertugas atau bekerja di perusahaan-perusahaan. Akuntan manajemen bertugas untuk membuat laporan keuangan di perusahaan.
  • Akuntan Pendidik
    Akuntan pendidik merupakan sebuah profesi akuntansi yang biasa bertugas atau bekerja di lembaga-lembaga pendidikan, seperti pada sebuh Universitas, atau lembaga pendidikan lainnya. Akuntan manajemen bertugas memberikan pengajaran tentang akuntansi pada pihak – pihak yang membutuhkan.
  • Akuntan Internal
    Auditor internal adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas audit yang dilakukannya terutama ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat dimana ia bekerja.
  • Konsultan SIA / SIM
    Salah satu profesi atau pekerjaan yang bisa dilakukan oleh akuntan diluar pekerjaan utamanya adalah memberikan konsultasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan sistem informasi dalam sebuah perusahaan.Seorang Konsultan SIA/SIM dituntut harus mampu menguasai sistem teknologi komputerisasi disamping menguasai ilmu akuntansi yang menjadi makanan sehari-harinya. Biasanya jasa yang disediakan oleh Konsultan SIA/SIM hanya pihak-pihak tertentu saja yang menggunakan jasanya ini.
  • Akuntan Pemerintah
    Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintah atau pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintah atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Meskipun terdapat banyak akuntan yang bekerja di instansi pemerintah, namun umumnya yang disebut akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja di Badan Pengawas Keuangan dan Pembagian (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BAPEKA), dan instansi pajak.

Ekspektasi Publik

Ekspektasi publik adalah tanggapan yang di kemukaan oleh masyarakat tentang etika yag berlaku di masyarakat luas. Ada banyak tanggapan yang beredar di luar sana ada yang positif dan ada juga yang negatif tergantung seseorang yang berpendapat. Karena sebuah ekspektasi adalah bebas sifatanya tetapi tidak mengurangi etika yang berlaku agar ada batasannya sehingga tidak terlalu jauh melenceng dari topik bahasannya.

Masyarakat pada umumnya mengatakan akuntan sebagai orang yang profesional khususnya di dalam bidang akuntansi. Karena mereka mempunyai suatu kepandaian yang lebih di dalam bidang tersebut dibandingkan dengan orang awam sehingga masyarakat berharap bahwa para akuntan dapat mematuhi standar dan sekaligus tata nilai yang berlaku di lingkungan profesi akuntan, sehingga masyarakat dapat mengandalkan kepercayaannya terhadap pekerjaan yang diberikan. Dalam hal ini, seorang akuntan di pekerjakan oleh sebuah organisasi atau KAP, tidak akan ada undang-undang atau kontrak tanggung jawab terhadap pemilik perusahaan atau publik.Walaupun demikian, sebagaimana tanggung jawabnya pada atasan, akuntan profesional publik mengekspektasikannya untuk mempertahankan nilai-nilai kejujuran, integritas, objektivitas, serta pentingnya akan hak dan kewajiban dalam perusahaan.

Nilai-nilai Etika vs Teknik Akuntansi/Auditing

Nilai itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang diinginkan (positif) atau sesuatu yang tidak diinginkan (negatif). Nilai merupakan sesuatu yang diinginkan dalam hal nilai tersebut bersifat positif, dalam arti menguntungkan atau menyenangkan dan memudahkan pihak yang memperolehnya untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya yang berkaitan dengan nilai tersebut. Sebaliknya nilai merupakan sesuatu yang tidak diinginkan dalam hal nilai tersebut bersifat negatif, dalam arti merugikan atau menyulitkan pihak yang memperolehnya untuk memenuhi kepentingannya, sehingga dengan sendirinya nilai tersebut dijauhi. Jadi bagaimana nilai etika dapat dihayati.

Perilaku Etika dalam Pemberian Jasa Akuntan publik

Setiap akuntan publik sebagai bagian anggota Institut Akuntan Publik Indonesia maupun staff profesional (baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP) harus menerapkan Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik atau sekarang disebut sebagai Kode Etik Profesi Akuntan Publik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemberi jasa. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

  • Prinsip Etika, memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.
  • Aturan Etika, disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan.
  • Interpretasi Aturan Etika, merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan modal dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik mulai diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan. Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi masyarakat, yaitu jasa assurance, jasa atestasi, dan jasa nonassurance. Jasa assurance adalah jasa profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan. Jasa atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan prosedur yang disepakati (agreed upon procedure).

Jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat, pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan. Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan. Contoh jasa nonassurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik adalah jasa kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi.

Secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Ditinjau dari sudut auditor independen, auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi yang lain dengan, tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.

Profesi akuntan publik bertanggung jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan-perusahaan, sehingga masyarakat keuangan memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar untuk memutuskan alokasi sumber-sumber ekonomi.

Opini: Setiap akuntan publik, harus menerapkan Aturan Kode Etik Akuntan Publik yang dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota Akuntan Publik.

Sumber: http://dessyayuditha.blogspot.com/2013/10/akuntansi-sebagai-profesi-dan-peran.html
Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

tugas 2

hello everybody let me introduce my self, my name is r syah putra alam  , i was born in jakarta 19 february 1992 , im twenty years old my hobbies is all about reptile, because reptile is a exotic animal in the world, you wanna know about reptile? reptile have many kind in this world for example are lizard,snake,turtules and amphibi.

i also like traveling in the forest too see a another animal exept reptile, traveling in the forest can be fun becaouse you can get a fresh air and a feeling’s good. in the forest have a beautiful place like a clean river,grup of the trees and a miracle stone.

i have one sister her name is baby indria putri she is beatiful and energic girl, and my mom is a freelance. You wanna know about my familly and my life? come in my house.. thankyou..

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

tugas 1

Ayah, 2 anaknya dewasa ditangkap di Texas perampokan Bank

Dengan Staf Kawat CNN 18 November, 2012

Keluarga yang merampas bank bersama-sama tetap bersama-sama.Itulah Texas tenggara berwenang menyatakan tentang seorang ayah, anak laki-laki dan anak perempuannya, mengikat mereka menjadi sepasang perampokan bank di negara itu dan mungkin lima orang lainnya di Oregon asli mereka.

Sekarang, seminggu setelah perampokan terjadi, ketiga tersangka berada di Penjara Bend Fort County.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan hari Jumat, Kantor Fort Bend County, Texas, Sheriff mengidentifikasi ketiganya sebagai 50-tahun Ronald Scott Catt, 20 tahun putranya Hayden Scott Catt dan 18-tahun putrinya Abigail “Abby “Catt.

KEADILAAN

 

Italia paling memiliki perampokan bank di Eropa, studi menemukan

Dengan Staf Kawat CNN 1 juli 2010

Roma, Italia (CNN) – Italia memiliki tingkat tertinggi perampokan bank di Eropa, sebuah penelitian di Italia pekan ini.

Dari 4.150 perampokan bank yang dilaporkan di Eropa pada tahun 2009, 1.744 – atau 42 persen – yang dilakukan di Italia, menurut penelitian, yang dilakukan oleh pengawas bank yang Osservatorio Italia dan serikat pekerja, CISL.

Kota-kota Italia Utara, termasuk Milan dan Turin, melihat jumlah tertinggi dari perampokan bank, kata studi, yang dirilis Rabu.

Salah satu alasan Italia melihat perampokan begitu banyak likuiditas kas yang tinggi, katanya.

POLITIK.

Tiga perampokan bank untuk Iowa kota selama Bush, Kerry Berkunjung

6 Agustus 2004

Tiga bank di kota ini dirampok Rabu sementara Presiden Bush dan Partai Demokrat John Kerry penantang host kampanye terbuka saingannya, kata polisi.

Davenport Polisi Letnan Don Gano mengatakan ketiga perampokan bersenjata tampaknya telah “terkoordinasi” bertepatan dengan kunjungan kampanye. Bush dan Kerry mengadakan acara tiga blok terpisah.

Satu orang telah ditangkap sehubungan dengan salah satu holdups, dan peneliti berusaha untuk menentukan apakah perampokan lainnya yang terhubung. Tapi Gano mengatakan saksi perampokan lain memberikan deskripsi yang berbeda dari para pelaku.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

review jurnal 10

Hukum Dagang

 

• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
Judul : Pemberdayaan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah dalam Memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual
Pengarang : Idham Bustamam
Abstrak
Pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam penelitian ini, hanya berdasar pada fakta di lapangan, bagaimana koperasi dan UKM memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual nya, dan seberapa jauh pemerintah memberikan promosi tersebut  untuk  lembaga yang bersangkutan, sehingga informasi yang diterima oleh koperasi dan UKM untuk perusahaan adalah sama. Rendahnya minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual  menyebabkan rendahnya minat untuk mendaftarkan perusahaan mereka dan ketidak inginan untuk membayar biaya di luar bisnis. Responden sangat ingin menunggu informasi tetntang promosi  Hak Kekayaan Intelektual dari Pemerintah atau
instansi terkait.
Kata kunci : “Perlu Penyuluhan”
Pendahuluan
Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan internasional batas negara boleh dikatakan hamper tidak ada lagi, karena setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus
tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap negara tidak dapat lagi melindungi   perekonomiannya dengan kebijakan tarif maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasiperdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) denganmengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun1997.
Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai pemenang dan dapat eksis di pasar. Koperasi, usaha kecil dan menengah yang telah terdaftar dan mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual antara lain : CV. Hadle (garmen) di Cempaka Putih dengan merek “Supramanik”, Atikah (garmen) di Jawa dengan merek “Dewi Bordir”, PT. Lembaga Kencana (susu sapi) di Bandung dengan merek “Lambang Kencana”, dan Endjang Dudrajat (peti antik) di Jawa Barat dengan merek “Pramanik”.  Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995 Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:
1). Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan
mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;
2). Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan.
Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :
1). Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
2). Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadiKoperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;
3). Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
4). Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”. Undang-Undang ini dikenal dengan sebutan undangundang merek dan merupakan perubahan tentang ketentuan yang mengatur tentang merek sejak zaman kolonial dahulu yang disebut “Reglement Industrial Eigendom Kolonial”. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 menganut sistem “Deklaratif” dengan pengertian bahwa perlindungan hukum terhadap hak atas merek yang diberikan kepada pemakai merek pertama. Di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut dirasakan masih kurang tepat karena belum menggambarkan/mengikat kepastian hukum, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang baru No. 19 Tahun 1992 tentang merek. Ada perbedaan yang sangat menyolok pada Undang-Undang No.19 Tahun 1992 menganut sistem “Konstitutif” yang lebih menjamin kepastian hukum karena perlindungan hukum hak atas merek diberikan kepada pendaftar pertama. Tahun 1997 oleh Pemerintah dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 sebagai penyesuaian Undang-Undang No. 19 tahun 1992, 3 yang mengatur tentang merek dagang dan jasa, kemudian diatur lagi Undang-Undang merek yang khusus pada UU Merek No. 15 Tahun 2001.
2. Rumusan Masalah
Kalau dilihat dari judul penelitian, maka dapatlah diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1). Sejauhmana sebenarnya minat dari Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
2). Sejauhmana pemberian penyuluhan-penyuluhan HaKI oleh lembagalembaga pemerintah yang terkait.
3). Sejauhmana hambatan-hambatan yang dihadapi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah selaku pemanfaat HaKI.
3. Tujuan dan Manfaat
1).Tujuan dari penelitian ini dapat disampaikan antara lain :
– Seberapa minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
– Faktor-faktor penyebab kurang minatnya untuk memanfaatkan Hak kekayaan Intelektual (HaKI) bagi koperasi, Usaha Kecil danMenengah.
2). Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga, dinas terkait, serta KUKM sebagai bahan penyusunan rencana kebijakan yang akan datang.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi :
1). Gambaran produk-produk yang dihasilkan KUKM
2). Langkah-langkah operasional yang telah dilakukan instansi, dinas yang menangani HaKI
3). Faktor-faktor penghambat dalam mendapatkan HaKI oleh Koperasi,Usaha Kecil dan Menengah.
II. GAMBARAN UMUM
1. Merk
Dalam UU No. 15 Tahun 2001 “Merek” adalah tanda yang berupa gambar,nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Merek merupakan karya intelektual yang menyentuh kebutuhan manusia sehari-hari dalam melengkapi hidupnya misal saja untuk makanan, minuman dan keperluan sekunder seperti TV,radio, kulkas, AC dan alat rumah tangga lainnya.
Dalam Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 90 berbunyi; “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama atau keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
2. Sosialisasi Mendapatkan HaKI
Di Indonesia kelihatannya HaKI kurang diminati oleh pelaku bisnis, karena kurangnya penyuluhan, kurangnya pembinaan pemerintah bagi usaha yang telah mulai baik jalannya. Hal tersebut disebabkan kultur masyarakat yang beranggapan memperbanyak karya intelektual dengan mempromosikan karya tersebut tidak perlu otorisasi, ada yang beranggapan tanpa HaKI barang/produk juga terjual, dan biaya administrasi tinggi berarti menambah beban usaha saja. Persepsi yang kurang tepat ini perlu diluruskan dengan sosialisasi dibidang HaKI yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai sistem HaKI nasional maupun internasional termasuk dalam hal merek.
3. Sengketa Merek Bagi Pelaku Bisnis
Sengketa yang paling sering terjadi adalah pemalsuan merk dagang. Sengketa penggunaan merek tanpa hak dapat digugat dengan delik perdata maupun pidana, disamping pembatalan pendaftaran merek tersebut. Tindak pidana dalam hal merek dapat dibagi 2, yaitu Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan : Pasal 92 ayat 1 : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
III. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Lampung.  Karakteristik produk dari keempat propinsi sampel antara lain, Propinsi Kalimantan Selatan terkenal dengan produksi mandau (golok), tikar lampit rotan, kipas rotan, keranjang rotan, tas dari manik. Kalimantan Tengah terkenal pula dengan hasilnya seperti anyamanyaman tikar dari rotan yang disebut tikar lampit dan kursi rotan. Kalimantan Timur cukup terkenal dengan sarung Samarinda, tas dan sarung pensil manik, bengkel bubut pembuatan kipas kapal. Propinsi Lampung kerajinan rumah tangga terkenal dengan pembuatan kopi, keripik singkong, keripik pisang dan makanan-makanan kecil lainnya.
2. Populasi Penelitian
Dari empat propinsi yang diteliti maka data-data diambil sebagai  berikut : setiap propinsi 3 kabupaten/kota berarti daerah survey 12 kabupaten/kota. setiap kabupaten/kota diambil datanya 5 koperasi dan 5 usaha kecil dan menengah. Koperasi yang disurvei berjumlah 60 koperasi, dan 60 usaha kecil dan menengah. Jumlah data terkumpul yang diperoleh 120 koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
3. Penarikan Sampel
Penelitian ini mempergunakan teknik antara lain :
a. Field Work Research
Penelitian langsung ke lapangan tempat obyeknya (observasi).
b. Library Research
Pengamatan deskriptif diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai permasalahan yang berhubungan dengan materi penelitian.
Pembahasan
1. Karakteristik Pengusaha
1). Persepsi Dan Pemanfataan HaKI
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00% responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI.  Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait (pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI 70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00% (tabel 1).
Dari data-data yang telah diperoleh bahwa penyuluhanpenyuluhan tentang arti dan pentingnya HaKI perlu ditingkatkan secara kontinu dari pemerintah.
2). Minat Mendapatkan HaKI
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang mengatakan berminat mendapatkan HaKI sebesar 2,25%, kurang minat 52,50%, dan tidak berminat akan HaKI sebesar 45,25%. Kalau mendapatkan HaKI dalam bentuk paten sebesar 52,50%, dan bentuk merek 47,50% (tabel 2).
Para pengusaha mengatakan bahwa belum sepenuhnya tahu mengurus administrasi HaKI. Disamping itu modal usaha yang dimiliki masih relatif kecil dengan teknologi sederhana.
3). Pemilikan HaKI Dan Produk Usaha
Hasil survei mengatakan bahwa apabila memperoleh HaKI dipergunakan untuk usaha sendiri sebesar 100,00%. Sedangkan produk yang akan didaftarkan adalah hasil temuan sendiri 82,50%.
Produk mendapatkan HaKI adalah produk yang tidak memiliki saingan 77,50%, (tabel 3). Pengusaha sebagai responden, usaha yang dikelola umumnya usaha turun temurun dan telah ditekuni berpuluh-puluh tahun.
4). Penyuluhan dan Biaya Mendapatkan Informasi
Hasil survei menggambarkan bahwa tidak ada biaya bila mencari sendiri sebesar 40%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kaltim 30,00%, Kalsel 35,00%, Kalteng 45,00%, dan Lampung 50,00%. Apabila mencari dan mendengar dari orang lain maka responden merasa kurang yakin kebenarannya, rata-rata jawaban responden 35,00%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kalsel 25,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 45,00%, dan Lampung 40,00%. Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait yang berwenang memberikan penyuluhan lebih menguntungkan
menurut responden, rata-rata 33,75%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 45,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 20,00%, dan Lampung 40,00%.  Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait, selain jelas penyuluhan diperoleh, dan juga kemudahan pemanfaatannya, rata-rata responden memberikan pendapatnya sebesar 55,00%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 75,00%, Kalteng 35,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 60,00%,(tabel 4).
5). Biaya Pengurusan HaKI
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengurus HaKI cukup besar, dan beragam untuk tiap daerah. Dari daftar pertanyaan yang disampaikan, seluruhnya menjawab, ya
(100,00%). Untuk administrasi dijawab rata-rata 57,25%, untuk pendaftaran rata-rata 30,50%, biaya lain-lain di jawab 52,50% (tabel 5). Kalau dirinci propinsi sampel bahwa memang ada biaya dikeluarkan, dapat disampaikan jawaban sebagai berikut: Biaya administrasi daerah responden Kalsel 50,00%, Kalteng 72,00%, Kaltim 32,00% dan Lampung 75,00%. Biaya pendaftaran Kalsel 50,00%, Kalteng 23,00%, Kaltim 24,00%, dan Lampung 25,00%.
Biaya lain-lain Kalsel 75,00%, Kalteng 55,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 30,00%.
Dari hasil pengamatan lapangan, indikasi tentang keengganan pengusaha untukmengeluarkan biaya pengurusan HaKI. Apabila modal kerja dikeluarkan bukan untuk membiayai usaha perusahaan, dikhawatirkan kegiatan usaha akan terganggu.
6). Keuntungan Memiliki HaKI
Dari jawaban responden diketahui bahwa 42,00% menyatakan bahwa pemilikan HaKI memberikan keuntungan. Kalau dijabarkan secara rinci per propinsi adalah sebagai berikut:
Memberikan keuntungan, Kalsel 60,00%, Kalteng 40,00%, Kaltim 40,00% dan Lampung 30,00%. Tidak memberikan keuntungan, Kalsel 40,00%, Kalteng 60,00%, Kaltim 60,00%, dan Lampung 70,00%.11 Keuntungan produksi mendapatkan jaminan rata-rata 48,25%, nilai komersilnya naik menjawab 29,25%, mendapatkan kepuasan moral 3,75%, dan dapat dijual belikan menjawab 18,75%(tabel 6).
2. Faktor Mempengaruhi Mendapatkan HaKI
1). Permohonan Dan Biaya HaKI
Persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan HaKI telah ditetapkan oleh Departemen Hukum Dan HAM Cq. Direktorat Jenderal HaKI. Baik untuk permohonan Paten maupun
Merek. Permohonan administrasi sebagai berikut:
– Pemohon langsung mengajukan permohonan kepada Dirjen HaKI di Jakarta.
– Mengoreksi salah atau benar permohonan oleh Ditjen HaKI melalui Tim.
– Permohonan ditolak Ditjen HaKI, untuk perbaikan cukup memakan waktu.
– Pembayaran biaya permohonan, rekening nomor 311928974 BRI Cabang Tangerang atas nama Direktorat Jenderal HaKI.
– Kantor Wilayah (Daerah) atau pejabat yang ditunjuk, membubuhkan tanda tangan dan stempel pada permohonan diterima.
(1). Biaya Paten antara lain terdiri dari :
– Biaya permohonan paten 12
– Biaya pemeriksaan substansi paten
– Penulisan deskripsi, abstrak, gambar
– Biaya lain-lain
(2). Biaya Merek antara lain terdiri dari :
– Biaya permohonan merek
– Biaya perpanjangan merek
– Biaya pencatatan pengalihan hak merek
– Biaya lain-lain
2). Usaha Koperasi dan Usaha Kecil
Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha
ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu
untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha yang telah maju. Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya.
Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota
dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun
buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus
diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi,
bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yang telah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi 13 organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).
3). Kiat-Kiat Peningkatan Pemanfaatan HaKI
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah) antara lain :
(1). Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.
(2). Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah (dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal HaKI di Jakarta, untuk disahkan.
(3). Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidakn mengalami kekeliruan.
(4). Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau
kembali.
Penutup
 KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan administrasi.
2). Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada usaha yang turun-temurun
3). Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI (52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.
4). Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan, menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi terkait.
2. Saran-Saran
1). Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan pentingnya HaKI.
2). Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh pemohon setelah permohonan diterima, yang disyahkan Direktorat Jenderal HaKI Jakarta. 14
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Direktorat Jenderal BinaLembaga Koperasi. Jakarta.
Anonimous, (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan PengusahaKecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan. Jakarta.
Anonimous, (2001). Undang-undang Republik Indonesia Tentang Paten danMerek Tahun 2001. Penerbit “Citra Umbara”. Bandung.
Hadi Sutrisno, (1993). Metodologi Research. Penerbit. “Andi Offset”,Yogyakarta.
Maulana Insan Budi, (2000). Peran Serta LSM dalam Pemberdayaan KPKM diBidang HaKI khususnya Merek Dagang. Disampaikan dalam WorkshopPemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
Nahar Rahimi SH, (2000). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek di Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.
Singgih Santoso, (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Paramatrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Sugiyono, (2003). Metode Penelitian Bisnis. Alfa Beta, Bandung.
Suharto, Tata Iryanto, (1996). Kamus Bahasa Indonesia Terbaru. Penerbit
“Indah”. Surabaya.
Umar Achmad Zen P, (2000). Sosialisasi dan Penegak Hukum di Bidang HaKI Khususnya yang Berkaitan dengan Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.

sumber :  http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_2_%20Jurnal_haki_Idham.pdf

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

review jurnal 9

Jurnal Hukum Perjanjian

 

·         Nama/NPM   :           Agustina Sapriyani           (20210346)

 

    Cyntia Citra Ramadani    (28210869)

 

    Ni Wayan Kristi Gayatri  (24210953)
    R. Syah Putra Alam          (25210485)
    Rissa Dwi Rizqia               (26210057)
·         Kelas               :          2EB05

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERJANJIAN INVESTASI

Abstrak
          Pemerintah harus memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi investor asing, khususnya investor yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN. Substansi pembaharuan dibidang perpajakan dan investasi tersebut harus di harmoniskan dengan konsep AFTA melalui CEPT. Namun, demikian kendala-kendala yang dihadapi oleh para pelaku usaha adalah untuk disejajarkan dengan pelaku usaha dari negara-negara anggota ASEAN lainnya, pengusaha Indonesia masih berharap adanya intervensi dari pemerintah untuk melindungi mereka dari ancaman para pelaku usaha luar negri. Di tingkat ASEAN daya saing Indonesia relatif sangat rendah dan belum memiliki sikap outward looking.
     Kata kunci : Kebikjakan Perpajakan, investasi, AFTA.
Pendahuluan
         Berkembangnya kerjasama ekonomi regional sebagaimana dilakukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2003.  Dan kesepakatan tersebut menuntut Indonesia untuk mengatur kegiatan investasi dan hukum investasi yang di harmonisasikan dengan ketentuan dalam AFTA. Penetapan AFTA sebagi suatu sistem perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara tersebut akan menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dibidang lnvestasi serta akan membawn dampak pengelolaan Investasi atau ekonomi di Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas tanpa  hambatan tarip bea masuk maupun non tarip. Artinya barang-barang hasil produksi negara-negara ASEAN akan masuk dengan sangat bebas kedalam setiap negara anggota ASEAN.
        Dampak ini akan lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan (Trade Liheralisation) lainnya yang telah diupayakan     secara bcrsama-sama oleh negara-negara didunia dalam bentuk kerjasaama ekonomi regional maupun internasional. Globalisasi Hukum itu sendiri dapat terjadi melalui   Perjanjian dan Konvensi-Konvensi nrernasional. Konvensi lnrernasional. Bagi Indonesia yang memiliki perekonomian yang bersifat terbuka akan terpengaruh oleh prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan tersebut. Perekonomian lndonesia akan berhadapan secara langsung dengan perekonomian negara lain atau mitra dagang Indonesia, seperti ekspor import, 1nvestasi.baik yang bersifat lnvestasi langsung maupun tidak langsung.
      Di era AFTA, Indonesia harus sudah memperiapkan diri secara mantap dalam menghadapi pengauh dan akibat yang timbul terhadap perekonomian atau perdagangan Internasional dalam serriua aspek, termasuk didalamnya aspek dibidang Hukum, khususnya Hukum perpajakan dan Hukum lnvestasi yang mempakan pranata Hukum yang berisikan kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan serta pergerakan dan perpindahan barang serta kegiatan lnvestasi searah ketentuan yang terdapat didalam AFTA.
Pembahasan
         Hukum dalam era globalisasi haruslah sejalan dengan rambu-rambu yang terdapat dalam perdagangan bebas itu sendiri, hal yang demikian haruslah dapat dipahami bahwa pertukaran-pertukaran yang terjadi atas komoditas-komoditas antar negara haruslah dalam kedudukan yang independen tanpa halangan-halangan Hukum yang dapat dimaksudkan untuk membatasi perdagangan tersebut.
             Dalam pembaharuan Hukum memasuki era AFTA, upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian Hukum di Indonesia menjadi semakin penting. Oleh krena itu kebijaksanaan pembaharuan Hukum Indonesia dalam era AFTA hendaknya berorielztasi kepada adanya suatu jaminan dan kepastian Hukum sesuai dengan yang diinginkan dalam ketentuan- ketentuan AFTA.
             Untuk pembaharuan Hukum lnvestasi dan Perpajakan dalam era AFTA, proses yang harus dilakukan adalah membuat ketentuan-ketentuan Perpajakan serta lnvestasi yang sesuai dengan persyaratan tersebut diatas, agar jalannya kebijakan Perpajakan dan lnvestasi itu tidak terhambat. Persyaratan pembaharuan Hukum Pajak dan lnvestasi itu juga harus diharmonisasikan dengan konsep AFTA melalui Common Ejceclive Preferential Tarif(CEPT).
Adapun kerangka CEPT adalah sebagai berikut :
a. Ketentuan Umum.
1) Semua negara anggota ASEAN ikut serta dalam skema CEPT.
2) Produk-produk yang dimasukkan ke dalam skema CEPT berdasarkan pendekatan sektoral pada tingkat 6 (enam) digit HarnionizedSy.s/enl (HS).
3) Bagi negara-negara yang belum siap memasukkan produkproduk tertentu kedalam skema CEPT  pengecualian dapat dilakukan pada tingkat 8 (delapan) atau 9 (sembilan) digit 1-1s dan bersifat sementara.
4) Produk-produk yang dianggap “Sensitif’ oleh negara-negara anggota dapat dikeluarkan dari skema CEPT dan tidak diberikan konsesi dalam rangka CEPT  berupa penurunan tarif (NTB) dan lain-lain. Setelah 8 (delapan) tahun, produk yang dikeluarkan tersebut ditinjau kembali wntuk ‘ ditetapkan apakah: masuk skema CEPT atau ikeluarkan secara permanen. Ketcntuan tersebut merupakan pelaksanaan prinsip (6-X).
5) Produk CEPT  harus memenuhi kandungan lokal (loco1 content) paling sedikit 40%.
6) Produk-produk skema Tarif Preferensi ASEN (ASEAN PTA), setelah dikenakan Margin of TarifS Preference (MOP) sehingga tarif efektifnya menjadi 20% atau lebih rendah, dialihkan masult skema CEPT. Bagi produk ASEAN PTA, yang belum memenuhi ketentuan diatas, tetap menikmati MOP yang berlaku.
b. Lingkup Produk CEPT.
    Produk CEPT meliputi semua jenis produk industri termasuk barang modal, produk olalian hasil pertanian dan produk-produk lainnya yang tidak termasuk definisi produk pertanian.l’roduk pertanian jangka waktu 15 tahun.
c. Penurunan Tarif dan Jangka Waktu.
I) Penunman tarif efektif produk CEPT dilaksanakan secara bertahap sampai mencapai tingkat antara 0%-5% dalam jangka waktu 15 tahun.
2) Jadwal penurunan tarif :
a. penurunan tarif yang scdang berlaku sampai mcnjadi tarif efektif 20 % adalah dalam jangka waktu 5 – 8 tahun dan dimulai tanggal l januari 1993.
b. Penurunan tingkat tarifeff’ektif’ selanjutnya dari 20% ntenjadi 0% -5% adalah dalam jangka waktu 7 tahun.
c. Secara keselumhan ke dua proses penurunan tersebut diatas tidak lebih dari 15 tahun.
3) Produk-produk yang telah niencapai tingkat tarif 20% atau lebih rendah, dapat menikmati
konsesi CEPT dengan syarat negara yang bersangkutan niengumumkan jadwal penurunan
tarifnya dari 20% menjadi 0%-5% atas produk
4) Jadwal penurunan tarif tersebut diatas tidak menghalangi suatu negaraa untuk  menurunkaan tarifnya menjadi 0% dengan segera.
d. Ketentuan-ketentuan lainnya.
1)       Produk CEPT dibebaskan dari pembalasan kwantitatif dan larangan penggunaan valuta asing. Selanjutnya dalam lima (5) tahun bentuk-bentuk NTB (Non Tara Barrier) lainnya liarus telah dihapuskan.
2)           Negara peserta tidak diperkenankan menghapus atau mengurangi segala konsesi yang felah disepakati melalui penerapan sistem Custom Valueation, pengaturan baru yang dapat menghambat perdagangan kecuali unluk kasus-kasus tertentu yang telah ditetapkan dalam pejanjian.
3)         Dapat dilakukan langkah-langkah darurat asal saja sesuai dengan ketentuan GATT, yaitu :
a. Dalam pelaksanaan CEPT, apabila import suatu barang meningkat pesat sehingga menyebabkan pengaruh berat bagi industri yang sama dinegara anggota, maka negara
      yang bersangkutan dapat menangguhkan sementara peniberian konsesi tarifnya.
3. Kendala-kendala Perpajakan dan Investasi dalam Kerangka AFTA.
a. Pelaku usaha di lndonesia untuk disejajarkan dengan pelaku usaha dari negara anggota ASEAN lainnya.
b. Mengingat dengan sudah terikatnya lndonesia dalam AFTA, maka kebijakan yang harus diambil adalah bagaimana lndonesia tidak terus berfikir sebagai Indonesia, tetapi Indonesia harus berfikir sebagai ASEAN. Mengingat AFTA mensyaratkan adanya kesatuan langkah dari para anggotanya, maka segala kebijakan dan peraturan perundang-Undangan harus sinkron antara satu negara dengan negara lainnya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan adanya harmonisasi Hukum seluruh anggota.
c. Pemerintah lndonesia harus mampu terdorong supaya para pelaku usaha dalam negeri lebih kompetitif. Bahkan pemcrintah harus berupaya untuk meniadakan potongan dan pungutan-pungutan tidak resmi sebagaimana telah dilakukan oleh sebagian negara-negara anggota ASEAN. Harus diakui biaya siluman merupakan salah satu faktor yang membuat harang dan jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha lndonesia menjadi tidak kompetitif.
d. Korupsi dan pungutan tidak restni juga liarus dihilangkan.
e. Pemerintah lndonesia dituntut untuk dapat memiliki kemampuan merealisasikan apa yang telah disepakati dan diperjanjikan antara negara-negara anggota ASEAN ke dalam kebijakan dan peraturan per-Undang-Undangan nasional .
   Dari apa yang telah diuraikan tersebut diatas, maka pembaharuan Hukum lnvestasi lndonesia dalam rangka AFTA harus memberikan prioritas pada materi-materi Hukum yang berkaitan langsung dengan konsepkonsep yang terdapat dalam AFT. Melalui CEPT, dimana Hukum lnvestasi yang berlaku di lndonesia harus menjadi semakin tcrbuka.
 Penutup
Kesimpulan
1.   Bahwa, dalam kerangka AFTA Penmerinlah Republik Indonesia perlu segera melakukan suatu pembahasan terhadap ketentuan-ketentuan dibidang Perpajakan dan Hukum Investasi secara menyeluruh. Sehingga dapat memberikan jaminan dan kepastian Hukum bagi investor asing, khususnya investor yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN.
2.  Bahwa, dalam kerangka AFTA, para pelaku usaha di Indonesia untuk dapat disejajarkan dengan pelaku usaha  dari negara anggota ASEAN lainnya. Pengusaha Indonesia masih berharap adanya intervensi darl pemerintah untuk melindungi mereka dari ancaman pelaku usaha luar negeri. Karena daya saing mereka masih rendah, belum lagi mereka masih tersedot perhatiannya terhadap pasar dalam negeri, sehingga para pelaku usaha Indonesia belum banyak memiliki sikap Outward Looking di tingkat ASEAN dan bahkan pengalaman bersaing di pasar luar negeri belum setara dengan pelaku usaha negara anggota ASEAN lainnya. Mereka bahkan meminta kepada perintah untuk menunda berlakunya AFTA.
DAFTAR PUSTAKA
_____J.D.N. Hart, The Rule of Law in Economic Developnzent dnlam Erman Rajcgukguk, peranan Hukum dalam Pembangitnan Ekonomi, Jakarta. UI. 1095.
_____Jwana Hikmananto, AFTA dalam Koiiteks Hukum EkonomiInternnsional, Jurnal Hukum Bisnis, Edisi 22, Jakarta, 2003.
_____Katadjoemana, GATT don WTO, Jakarta, 111 I’rcss, 1996.
_____Maman. Suerahman, Ade, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global,Jakarta. Ghalia Indonesia, 2001.
_____Mi yasto, Sistem Perpajakan Nasional dalam Era Ekonomi Global,Pidoto Pengukuhan GuruBesar cloloni Ilmzr Ekonomi, Semarang. IT. U.DIP, 1997.
_____Rahardjo. Satjipto. Hukum dalam Pembaharuan Sosial, Bandung,Alumni, 1993.
Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

review jurnal 8

SUBYEK HUKUM EKONOMI

REVIEW SUBYEK HUKUM EKONOMI

• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057

• Kelas : 2EB05

REVIEW JURNAL SUBYEK HUKUM EKONOMI

Abstrak

Penelitian bermaksud untuk mengetahui apakah hukum internasional merupakan suatu hukum yang sesungguhnya.Mengapa masyarakat internasional mau mentaati hukum internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan  dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian. Melalui hasil pemelitian ini dapat disimpulkna bahwa, Sifat hubungan yang koordinatif dalam masyarakat internasional, tidak adanya badan supranasional yang memiliki kewenangan membuat sekaligus memaksakan berlakunya suatu aturan hukum internasional kepada anggota masyarakat bangsa-bangsa yang melanggar hukum internasional tidak mengurangi eksistensi dan hakekat hukum internasional sebagai suatu norma hukum. Faktor paling utama yang memunculkan penerimaan dan ketaatan masyarakat internasional pada aturan hukum internasional adalah adanya kesadaran dan kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa memberikan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang munculnya secara internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya oleh ketakuatan akan datangnya sanksi.
Kata kunci: Ketaatan, hukum internasional, filsafat hukum406 JURNAL HUKUM
Pendahuluan
Tidak sebagaimana sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga formal seperti badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala pemerintahan baik di pusat maupun daerah (eksekutif) serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem hukum internasional tidak memiliki semuanya itu.
Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif pembuat aturan hukum, tidak memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan sebagai eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum internasional. Hukum internasional sangatlah kekurangan institusi-institusi formal, demikian menurut Martin Dixon.
1.       Dengan demikian tidaklah mengherankan karenanya bila banyak pihak yang meragukan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional dikatakan bukan sebagai hokum sesungguhnya. Menurut John Austin sebagaimana dikutip oleh Scwarzenberger, hukum internasional hanya layak untuk dikategorikan sebagai positive morality saja karena tidak memiliki badan legislatif dan sanksinya tidak bisa dipaksakan.
2.       Banyak pihak mengamini pendapat ini apalagi realitas menunjukkan banyaknya pelanggaran hukum internasional dilakukan seperti oleh Amerika Serikat, juga Israel tidak pernah ada sanksi. Apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sesungguhnya? Bagaimana hukum ini bekerja, mengapa masyarakat internasional mau mentaatinya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis secara mendalam melalui filsafat hukum. Dengan menganalisa semua itu dari perspektif filsafat hukum maka diharapkan akan diperoleh pemahaman seluasluasnya juga sedalam-dalamnya, seakar-akarnya tentang hukum internasional.
Beberapa manfaat menganalisa melalui filsafat hukum antara lain:
1.       Dapat membawa para ahli hukum melihat jauh ke depan. Lebih menyadarkan para ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya, mereka akan selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu dengan keperluan-keperluan social yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
2.       Membawa para ahli hukum dari cara berfikir hukum secara formal ke realitas sosial. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam menerapkan hukum perjanjian para ahli hukum juga memerlukan pengetahuan-pengetahan lain di bidnag ekonomi, kriminalogi, pidana, perikatan, sosiologi dan lain sebagainya.
3.       Dapat menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep dasar yang sama guna mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka ragam masalah soaial dengan hanya menggunakan satu teknik. Dengan demikian kompleksitas hukum dapat lebih dikendalikan dan lebih rasional, dimana teori dapat membantu dalam ptaktek.
4.       Dengan penalaran konsep-konsep hukum akan mempertajam teknik yang dimiliki para ahli hukum itu sendiri.
Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah Pertama, apakah hukum internasional merupakan suatu hokum yang sesungguhnya? Kedua, mengapa masyarakat internasional mau mentaati hokum internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan institusiinstitusi formal yang bertugas menegakkan hukum?
Tujuan Penelitian
Untuk memahami dan menganalisis hakekat hukum internasional serta memahami mengapa masyarakat internasional mau mentaati hukum internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan hukum.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan  dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, tulisan dan pendapat para pakar hukum internasional. Pengakuan, penerimaan dan praktek masyarakat internasional memperlakukan hokum internasional dalam sistem hukum nasional maupun dalam hubungan internasional.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hakekat Hukum Internasional
Menurut Austin
 Hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austin harus memenuhi dua unsure yaitu ada badan legislatif pembentuk aturan serta bahwa aturan tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsure ini dalam diri hokum internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja. Mencermati pendapat Austin nampak bahwa Austin melihat hukum dari kacamata yang sangat sempit.
Menurut Austin hukum identik dengan undang-undang, perintah dari penguasa (badan legislatif). Dalam analisis modern pendapat Austin ini tidak tepat lagi sebab akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai salah satu badan pembentuk hukum. Di samping itu Austin juga mengabaikan bila dalam masyarakat ada hukum yang hidup, yang keberadaannya tidak ditentukan oleh adanya badan yang berwenang (badan legislatif) atau penguasa seperti hukum adat atau hukum kebiasaan.
Berbeda pendapat dengan Austin, Oppenheim pakar hukum yang lain mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law).
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum menurut Oppenheim. Ketiga syarat yang dimaksud adalah adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta adanya jaminan pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Syarat pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum internasional dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 , Perjanjian internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space Treaty 1967), Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang lingkungan internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita menemukan aspek kehidupan yang belum diatur oleh Hukum internasional.
Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga terpenuhi  menurut Oppenheim. Masyarakat internasional tersebut adalah negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun universal.
Adapun syarat ketiga adanya jaminan pelaksanaan juga terpenuhi menurut Oppenheim. Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi internasional ataupun pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo, pembalasan, sampai ke perang .
Meskipun menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim mengakui bahwa hokum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional lemah dalam hal penegakan hukumnya bukan validitasnya. Hukum internasional terkadang sangat primitif dan tebang pilih.
 Hukum dan sanksi hanya dikenakan
Terhadap negara-negara kecil yang tidak atau kurang memiliki power juga pengaruh di lingkugan masyarakat internasional. Ketika Irak menginvasi Kuwait 1990-1991 hukum internasional sangatlah keras terhadapnya. Masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut unlawful bukan immoral atau unacceptable Berbagai sanksi dijatuhkan pada Irak, bahkan penjatuhan sanksi itu justru yang melanggar hukum internasional karena tidak ada kejelasan sampai kapan sanksi akan berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat mencampuri urusan dalam negeri Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk mengembangkan diri. Demikian halnya dengan Iran, meskipun belum ada bukti bahwa Iran mengembangkan senjata pemusnah masal dan menurut Iran apa yang dilakukkannya hanya untuk tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi berbagai macam sanksi sudah diterapkan tehadap Iran. Senada dengan Oppenheim,  para pakar  hukum  int e rnas ional  mode rn menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral.Mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat mereka.
Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.
Masalah penegakan
Hukum yang lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi HI itu sendiri. Eksistensi HI tidak tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya lembaga-lembaga tertentu juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku hukum dalam masyarakat internasional itu sendiri.
Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Sebagaimana dikemukakan di atas dalam Hukum Internasional tidak ada badan supranasional yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu aturan internasional, tidak ada aparat penegak hukum yang berwenang menindak langsung negara yang melanggar hukum internasional, serta hubungannya dilandasi hubungan yang koordinatif bukan sub-ordinatif. Namun demikian ternyata di dalam prakt ik masyarakat   internasional  mau menerima HI   sebagai  hukum yang sesungguhnya bukan hanya sebagai moral positif saja. Hakikat hukum internasional adalah sebagai hukum yang sesungguhnya. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih kecil daripada ketaatan yang ada. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut apa yang menjadikan masyarakat internasional mau menerima HI sebagai hukum? Dari mana HI memperoleh dasar kekuatan mengikat?
Hukum internasional (jus gentium) dipandang sebagai bagian dari hukum alam, datangnya dari Tuhan sehingga berlaku untuk seluruh manusia. Hukum Internasional mengikat karena hukum ini merupakan bagian dari hukum alam yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa negara-negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam dan diturunkan pada manusia lewat ratio atau akalnya. Gaius, pakar di era Romawi kuno menyebutkan jus gentium sebagai law :commom to all men’. Dengan demikian hukum internasional bersifat universal. Hal senada dikemukakan oleh Sudjito bahwa dasar dari hukum ini adalah alam. Inti alam terletak pada akal. Akal tertinggi ada pada Tuhan, bersifat abadi dan universal. Ketaatan masyarakat internasional pada
 Hukum menurut aliran ini tidak diciptakan melainkan ditemukan di alam. Apa yang dikemukakan aliran ini ternyata belum dirasa memuaskan karena sangat abstrak dan belum menjawab inti pertanyaan mengapa masyarakat internasional mau terikat pada HI. Meskipun demikian aliran ini banyak memberikan sumbangan pada perkembangan HI terutama pada nilai-nilai keadilan (justice).
Sebagaimanan dikemukakan aliran hukum positif, dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak negara. Meskipun lebih konkrit dibandingkan apa yang dikemukakan aliran hukum alam namun apa yang dikemukakan aliran inipun memiliki kelemahan yakni bahwa tidak semua HI memperoleh kekuatan mengikat karena kehendak negara. Banyak sekali aturan HI yang berstatus hukum kebiasaan internasional ataupun prinsip hukum umum yang sudah ada sebelum lahirnya suatu negara. Tanpa pernah memberikan pernyataan kehendaknya setuju atau tidak setuju terhadap aturan tersebut, negara-negara yang baru lahir tersebut akan terikat pada aturan internasional itu.
Pasca perang dunia pemikiran ketaatan pada HI semakin berkembang. James Brierly ahli hukum internasional menyatakan mengapa negara taat pada HI adalah untuk menjaga reputasi masing-masing di tingkat internasional serta tumbuhnya solidaritas untuk terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia.
Pasca perang dunia kedua organisasi internasional tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Keberadaan mereka sedikit banyak mempengaruhi ketaatan negara pada Hukum Internasional. Dalam pandangan Brierly ketaatan itu karena solidaritas dan legitimasi yang lahir dari organisasi internasional.
Menurut aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk social selalu membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Betapapun majunya suatu negara tidak akan dapat hidup sendiri. Dalam berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk member kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan tersebut masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan kepastian hukum dalam melaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan ini menjadikan masyarakat internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada HI. Faktor kebutuhan lebih penting daripada faktor ada tidaknya aparat penegak hukum, ada tidaknya lembagalembaga formal serta ada tidaknya sanksi.
Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu:
Jika subyek hukum menaati suatu aturan, hanya karena takut akan sanksi. Kelemahan jenis ketaatan ini adalah diperlukannya pengawasan secara ketat dan terus-menerus
Ketaatan yang bersifat identification, yaitu:
 Jika subyek hukum menaatai suatu aturan karena kekhawatiran hubungan baiknya dengan pihak lain akan rusak atau terganggu jika ia tidak menaati aturan tersebut.
Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu:
 Jika subyek hukum menaati sutu aturan benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Di dalam praktek subyek hukum menaati aturan bisa hanya karena salah satu alasan saja, akan tetapi bisa terjadi ketaataan itu meliputi ketiga macam yang tersebut di atas. Jadi subyek hukum menaati aturan tidak hanya takut akan sanksi tapi juga takut hubungan baiknya dengan pihak lain akan terganggu sekaligus memang kesadaran bahwa subyek hukum membutuhkan aturan itu dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Menilai ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum tentu tidak cukup hanya melihat dari sisi jumlah yang mentaati tetapi untuk lebih menekankan pada kualitas keefektifan perlu dilihat alas an ketaatan tersebut. Ketaatan yang bersifat  compliance kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang bersifat identification, terlebih lagi bila dibandingkan dengan yang bersifat internalization.
Ada 4 faktor yang menentukan apakah negara akan taat pada hukum internasional atau tidak. Ke-4 faktor tersebut adalah determinacy, symbolic validation, coherence dan adherence. Franck menyatakan 4 faktor tersebut akan menekan negara untuk taat pada hukum internasional. Namun demikian, Franck dengan teori legitimasinya tidak mampu memberi jawaban memuaskan mengapa negara harus memperdulikan legitimasi. Sebagai contoh dikemukakan ketika negara melanggar aturan hokum internasional dengan alasan aturan tersebut kurang legitimasinya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa negara harus menghormati aturan yang dikatakan ada legitimasinya sebaliknya mengabaikan yang lain?
Kelemahan Hukum Internasional
Sebagaimana dipaparkan di atas HI diakui oleh masyarakat internasional sebagai hukum yang sebenarnya dan dipatuhi sebagaimana layaknya suatu aturan hukum karena faktor-faktor berikut:
a) Kebutuhan dan kepentingan bersama akan jaminan kepastian hukum dan ketertiban dalam melakukan hubungan internasional
b) Biaya-biaya politik dan ekonomi yang harus dibayar jika melanggar HI, seperti hilangnya kepercayaan dari pihak asing, dihapuskannya berbagai bantuan dan fasilitas dari pihak asing, dikucilkan dari pergaulan internasional, dicabut keanggotaannya dari suatu organisasi internasional
c) Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh negara lain, organisasi internasional dan pengadilan
d) Faktor psikologis takut dikecam atau dikutuk oleh pihak lain (pschological force) jika  melanggar HI. Meskipun HI  bisa bekerja namun demikian ada beberapa faktor  yang menjadikan HI sebagai hukum yang lemah.
 Beberapa faktor dimaksud adalah:
 – Kurangnya institusi-institusi formal penegak hukum: a. tidaknya polisi yang senantiasa mengawasi dan menindak pelanggar HI
–  Meskipun ada jaksa dan hakim di pengadilan internasional namun mereka tidak memiliki otoritas memaksa Negara pelanggar secara langsung sebagaimana yang umumnya terjadi di pengadilan nasional
– Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib
Penutup
Berdasarkan kajian di atas, dapat disimpulkan, Pertama, hukum internasional merupakan hukum yang sesungguhnya, hukum yang hidup dan berlaku ditengahtengah masyarakat internasional. Kedua, faktor paling utama yang memunculkan ketaatan masyarakat internasional pada aturan hukum internasional adalah adanya kesadaran dan kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa memberikan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang munculnya secara internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya oleh ketakutan akan datangnya sanksi. Ketiga, meskipun demikian disadari dan diakui pula bahwa faktor-faktor seperti takut akan sanksi, faktor psikologis, juga takut kehilangan berbagai keuntungan dalam hubungan internasional, rasa solidaritas dan legitimasi juga cukup berpengaruh pada ketaatan tersebut.
Daftar Pustaka
Ali, Ahmad, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teori Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi undang-undang (legisprudence), Vol I, Pemahaman Awal,
Prenadamedia Group, 2009.
Burgstaller, Markus, Theories of Compliance with International Law: Developments in
International Law, Volume 52, Martinus Nijhoff Publishers and VSP, 2005.
Carty, Anthony, Philosophy of International Law, Edinburgh University Press, 2007.
Chayes, Abram and Antonia Handler Chayes, The New Sovereignty: Compliance with
International Regulatory Agreements, Cambridge, Harvard, University Press,
1995.
Dixon, Martin, Texbook on International Law, Blackstone Press Limited, fourth edition,
2001.
Fitzmaurice, Gerald, The Foundations of the Authority of International Law and the Problem
of Enforcement, 19 Mod. L. Rev. 1, 1956.Sefriani. Ketaatan Masyarakat… 427
Hongju Koh, Harold, “Why do Nations Obey International Law” , Yale Law Journal ,
106 Yale L.J. 2599, 1997.
Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Penerbitan Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan
kedua, 1998.
Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Perspektif Negara Berkembang,
Penataran Singkat pengembangan bahan Ajar Hukum Internasional, Bagian
Hukum Internaisonal FH Undip, Semarang, 6-8 Juni 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bagian I, Bina Cipta,
Bandung, 1982.
M Franck, Thomas, Fairness in International Law and Institutions, Oxford, Clarendon
Press, 1995.
Parthiana, Wayan, Pengantar Hukum Internasional , Mandar Maju, Bandung, 1990.
Purwanto, Harry, “Kajian Filosofis terhadap Eksistensi Hukum Internasional”, dalam
Mimbar Hukum , Majalah FH UGM , No 44/VI/2003.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju , Bandung,
Cetakan ke-3, 2002.
Scwarzenberger, International Law and Order, Martinus Nijhoff Publishers, Haque/
Boston/London, 1994.
T. Guzman, Andrew,”A Compliance-Based Theory of International Law “, California Law
Review , 90 Cal. L.Rev.1823, 2002.
______, How International Law Works a Rational Choice Theory, Oxford University Press,
2008.
Sumber:
Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

review jurnal 7

HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

REVIEW HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057

• Kelas : 2EB05

REVIEW JURNAL HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

Judul: komparasi berbagai aliran hukum dan ekonomi: suatu kajian filsafat hukum

Pengarang: Erlyn Indri

Keyword : Filasafat Hukum, Hukum dan Ekonomi

 

ABSTRAK

Secara umum, kelahiran dan pertumbuhan hukum dan ekonomi didasarkan pada kontribusi yang diberikan oleh bagian hukum dan sisi ekonomi hukum dan ekonomi.sebagai perubahan menyapu tatanan masyarakat ilmiah bagian hukum dan ekonomi transformasi saksi signifikan dalam proses pembentukan,pemahaman,struktur dan institusi hukum memproduksi cukup banyak sekolah penelitian pengalaman di bidang filsafat hukum yang inti dari penelitian ini adalah perbandingan antara sekolah berbagai pengalaman perbandingan seperti itu akan memiliki kompetensi untuk mempersempit atau bahkan menjembatani kesenjangan antara sekolah bersaing pikiran dan meningkatkan upaya untuk menyelesaikan kompleksitas masalah hukum, dalam hukum dan ekonomi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penelitian ini ditujukan untuk menyediakan bagi para pelajar hukum semacam overview atau sinopsis yang bersifat deskriptif non-critical tentang kontur maupun unsur-unsur  inti dari visi filosofi hukum beraneka aliran yang memberikan kontribusinya bagi pengembangan bidang kajian hukum dan ekonomi. Penelitian ini merupakan ulasan selayang pandang mengenai apa saja yang coba disodorkan oleh masing-masing school of thought di-maksud.

Tinjauan Pustaka

Dalam 4 dekadebelakang ini hukum dan ekonomi mulai bertunas sebagai kajian yang terpisah dan tersendiri. Cukup mengherankan interaksi yang begitu nyata antara hukum dan ekonomi membutuhkan watu yang cukup lama untuk mendapatkan pengakuan yang semestinya. Salah satu sumbangan awal dari ilmu hukum bagi pengembangan kajian hukum dan ekonomi berasal dari apa yang lazim disebut dengan Common Law. Kehadirannya merupakan buah dari reaksi terhadap pendekatan metafisikal terhadap hukum yang diusung oleh aliran filsafat hukum legal theology maupun kecenderungan sekular-positiv dari metoda elmu alam yang dikandung Natural Law. Common Law tidak terdiri dari keputusan-keputusan tertentu seperti peraturan, doktrin, atau prosedur, melainkan semacam gagsan yang tidak dapat begitu saja di sistematisasi, namun nyata adanya terjalin dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Menurut Doctrinalism, hukum semestinya dipahami apa adanya sebagai hukum itu sendiri, tanpa harus merujuk kepada prinsip-prinsip religi, metafisika, ataupun sosial-ekonomi. Hukum disini dilihat sebagai serangkaian doktrin yang termaktub di dalam kasus-kasus hukum yang dari waktu ke waktu akan terungkap dan dapat dibedakan dari sekedar ‘pendapat huku’ melalui kajian ilmiah induktif secara hati-hati dan rinci terhadap kasus-kasus tersebut.

PROSES

Penelitian ini pada dasarnya meliputi beberapa tahapan atau fase. Istilah ‘metode penelitian’ tidak digunakan disini. Penelitian ini berlangsung dalam 5 fase yakni, penetapan tradisi, pencanangan paradigma, penerapan strategi, pengumpulan data, serta interpretasi, komparasi dan presentasi.

TRADISI

Penelitian ini mengikuti tradisi penelitian kualitatif, yaitu mengutamakan penghayatan dalam memahami, mengkritisi dan menafsirkan persoalan sesuai dengan paradigma yang dianut oleh peneliti. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif mengenai filosofi hukum.

 

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan Kajian Literatur. Data penelitian diperoleh dari interaksi antara peneliti dengan para pemikir dan pakar hukum

PEMBAHASAN

1.      Chicago School Law and Economic

Hukum dan ekonomi bermula dari pemikiran Adam Smith atau Jeremy Bentham. Chicago School atau disebut juga sebagai Law and Economic School of Jurisprudential Thought adalah Richard Posner seorang profesor, cenddekiawan sekaligus hakim. Menurutnya, arti kedua dari ‘keadilan’ yang paling umum dapat dikatakan adalah efisiensi. Dalam kaitannya, suatu tindakan yang dikatakan ‘tidak adil’ dengan demikian dapat di interpretasikan sebagai suatu tindakan yang menyia-nyiakan sumber daya. Menurut Aliran Hukum dan Ekonomi Chicago tujuan sentral dari pengamilan eputusan hukum semestinya adalah memajukan efisiensi pasar.

Aliran Chicago merasuki antara lain hukum antitrust, hukum tort, hukum kontrak dan hukum lingkungan, keseluruhannya kebanyakan dalam konteks common law. Secara umum aplikasi pemikiran Aliran Chicago dapat dikelompokan menjadi:

-Hukum & Ekonomi Positif: Aliran Hukum dan Ekonomi Positif melakukan analisa efisiensi terhadap common law

-Hukum & Ekonomi Normatif: Aliran Hukum dan Ekonomi Normatif mempelajari dimana kah common law menyimpang dari doktrin efisiensi ekonomi.

 

2.      Public Choice Theory

Public choice theory didefinisikan sebagai analisa terhadap pengambila keputusan yang tidak berkenaan dengan pasar yang telah ada sejak akhir tahun 1940-an oleh para akademis di bidang public finance. Hal ini kemudian berlanjut hingga pertengahan tahun 1950-an manakala mereka melepaskan diri dari kajian kebijakan pemerintah tentang perpajakan dan pengeluaran/belanja. Rangkaian proses ini akhirnya berkulminasi pada karya Duncan Black and Anthony Downs.

Ekonomi sejati tidak hanya berkaitan dengan pasar, sehingga pengambilan keputusan ekonomi semestinya tidak di reduksi menjadi semata-mata pengambilan keputusan terkait dengan pasar.

 

 

3.      Institutional Law and Economic

Pendekatan institusional terhadap hukum dan ekonomi berakar pada berbagai bidang kajian diantaranya:

–          Ekonomi dan jurisprudence (Henry C. Adams 1954)

–          Hubungan antara properti dan kontrak dengan distribusi kekayaan (Richard T. Elly 1941)

–          Dasar-dasar hukum dari sistem ekonomi (John R. Commons 1924, 1925)

–          Peran sistem harga dan posisinya di dalam ekonomi modern (Wesley C. Mitchell 1927)

Instituisi Law and Economics menuntut pendekatan interdisciplinary antara lain psikologi, sosiologi, antropologi, behavioral science, ekonomi dan hukum. Instituisi Law and Economics menolak asumsi-asumsi preferensi tetap. Pendekatan Instituisi Law and Economics sama sekali tidak membedakan diantara perlakuan, misalnya jurisprudensial, legislatif, birokratik atau regulatori. Semuanya itu merupakan manifestasi dari interelasi antara pemerintah dan ekonomi maupun proses hukum dan proses ekonomi dengan segala institusinya.

 

KESIMPULAN

Perbedaan yang ada diantara berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi dapat terjembatani dan persoalan hukum pun dapat menemukan jalan keluarnya. Pemahaman yang benar terhadap visi filosofi hukum akan dapat memecahkan persoalan hukum atau persoalan ekonomi yang kian kompleks dan mendudukan pada tempatnya.

 

REFERENSI

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/372087380.pdf

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

review jurnal 6

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI

Posted: June 2, 2012 in Uncategorized

REVIEW JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI

• Nama/NPM : Agustina Sapriyani / 20210346
Cyntia Citra Ramadani / 28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri / 24210953
R. Syah Putra Alam / 25210485
Rissa Dwi Rizqia / 26210057
Rafael Yoab /
• Kelas : 2EB05

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN BERDASARKAN
UU NO. 23 TAHUN 1997

Dr. Prasetijo Rijadi, S.H., M.Hum.
Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Ubhara Surabaya

ABSTRAK

Sengketa lingkungan adalah jenis kasus yang berisi konflik yang tidak hanya
melibatkan dua pihak, tetapi kasus yang disertai dengan permintaan. sana
dua prosedur yang dapat diikuti untuk mendapatkan resolusi tentang sengketa lingkungan,
yang pertama adalah melalui proses pengadilan (dengan mengajukan tuduhan lingkungan),
dan yang kedua adalah prosedur di luar pengadilan yang biasa disebut sebagai alternatif
sengketa keadilan.

PENDAHULUAN

Robert Latter telah mengkonstruksi deskripsi simbolik-metaforik: Orang Prancis menggunakan teka-teki untuk mengajarkan pada anak-anak sekolah tentang sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Sebuah kolam teratai, berisi selembar daun. Tiap hari jumlah daun itu berlipat dua, dua lembar daun pada hari kedua, empat pada hari ketiga, delapan pada hari keempat, demikian seterusnya.
Memang, krisis ekologis bukan lagi merupakan kemungkinan masa depan. Sebaliknya, sudah menjadi realita kontemporer3 yang melebihi batas-batas Toleransi dan kemampuan adaptasi. Proliferasinya pun mencapai dimensi global dan terus berdampak secara dramatis. Kontekstualitas degradasi ini seyogianya menyadarkan adanya bahaya fenomenal-monumental yang mengancam lingkungan.
Indonesia dan dunia internasional harus memahami urgenai kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan guna mempertahankan kehidupan masa kini tanpa membahayakan prospek generasi mendatang. Membangun masa depan yang mantap dari segi lingkungan memerlukan ketajaman visi. Momentum hari depan akan menjadi hari merayakan sejumlah prestasi yang berarti atau sekedar firmamen menyesali kesempatan mencapai masyarakat global yang sehat secara ekologis, sangat ditentukan oleh rasa apresiatif terhadap lingkungan. Dalam perspektif yuridis, pencemaran-peruskan lingkungan telah dikualifikasi sebagai kausa konflik (sengketa) lingkungan. Berarti, pencemaran perusakan lingkungan menentukan tingkat eskalasi dan keberadaan sengketa lingkungan. Pasal 1 angka19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan – UUPLH (LNRI Tahun 1997 No. 68 – TLNRI No.3699) yang berlaku mulai tanggal 19 September 1997, memformulasikan: “Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup”. Tanpa adanya pencemaran-perusakan lingkungan, tidak akan ada konflik lingkungan. Konflik lingkungan lahir dari adanya pencemaran-perusakan lingkungan.

DESKRIPSI YURIDIS SENGKETA LINGKUNGAN

Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan. Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi” perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya “tuntutan” (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Sebagai kenyataan yang senantiasa terjadi dan menggejala, sengketa lingkungan membutuhkan penyelesaian yuridis untuk melindungi kepentingan korban pencemaran-perusakan lingkungan sekaligus menyelamatkan lingkungan melalui pendekatan hukum.

PEHYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

Dalam UUPLH, pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan terdapat pada Pasal 30-39. Menurut Pasal 30 ayat (1) UUPLH lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI PENGADILAN

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan” berdasarkan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum” (“onrechtmatigedaad”). Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat adalah:
Pertama, membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW. Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan, yang dapat dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum Anglo-Amerika.

Kedua, masalah beban pembuktian yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatanya. Menyadari kelemahan tersebut, Hukum Lingkungan Keperdataan (“privaatrechtelijk miliuerecht”) mengenal asaa tanggunggugat mutlak (“strick liability”-”risico aansprakelijkheid”) yang dianut pula oleh Pasal 35 UUPLH. Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tampa mempersoalkankesalahantergugat. Apakah asas “strict liability” diterapkan untuk semua gugatan lingkungan? Asas “strict liability” lazimnya hanya hanya diimplementasikan pada “types of situation” tertentu (kasuistik) . termasuk “types of situation” bagi berlakunya “strick liability” adalah “extra-hazardous activities” yang menurut Pasal 35 UUPLH meliputi sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang :
a) Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
b) Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3) dan atau,
c) Menghasilkan limbah B-3.
d) Kegiatan pengelolaan zat dan limbah radioaktif berdasarkan Pasal 28 Undang-undang nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
e) Pencemaran lingkungan laut di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia sedasar Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eklusif Indonesia.
f) Pencemaran minyak di laut (wilayah) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on Civil Liability Oil Pollution Damage – CLC (vide penyempurnaanya tahun 1992) JO. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (Fund Convention).

Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya. Hukum Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan antara individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui “gugatan kelompok” – “class action” – “actio popularis”. Di Amerika Serikat “class action” diterapkan terhadap pencemaran lingkungan tidak hanya menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga masyarakat. “Class action”, penting dalam kasus pencemaran (perusakan) lingkungan yang menyangkut kerugian terhadap “a mass of people” yang awam dalam ilmu. Seseorang atau beberapa orang anggota kelompok dapat menggugat atau digugat sebagai pihak yang mendapat kuasa atas nama semua.

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN ALTERNATIF

Respons atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa lingkungan melalui “proses litigasi” yang “konfrontatif” dan “zwaarwichtig” – (njelimet) adalah “extrajudicial settlement of disputes” atau populer disebut “alternativedispute resolution” (ADR), yaitu penyelesaian konflik lingkungan secara komprehensif di luar pengadilan. ADR merupakan pengertian konseptual yang mengaksentuasikan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan melalui: “negotiation”, “conciliation”, “mediation”, “fact finding”, dan “arbitration”.
Terdapat juga bentuk-bentuk kombinasi yang dalam kepustakaan dinamakan “hybrid” semisal mediasi dengan arbitrasi yang disingkat “med-arb”. Penyelesaian sengketa lingkungan alternatif ini menurut UUPLH dinamakan “penyelesaian ssengketa lingkungan hidup di luar pengadilan”. Berdasarkan Pasal 31 UUPLH, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan. Pola penyelesaian sengketa lingkungan dalam ketentuan UUPLH tersebut tampak sebagai koreksi atas kekeliruan sistem Tim Tripihak menurut Undangundang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH} yang dirasa tidak sesuai dengan ketentuan hukum lingkungan yang dikenal di negara maju seperti: Jepang, Amerika Serikat dan Kanada, yaitu ADR. Namun sayangnya, penyelesaian “model” UULH tampaknya masih melekat dalam Penjelasan Pasal 31 UUPLH. Para pihak yang berkepentingan meliputi: ko-rban, pelaku dan instansi pemerintah terkait yang populer disebut “Tim Tripihakala. UULH, justru oleh UUPLH ditambah lagi dengan melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan (OLH).
Bertumpu pada Pasal 32 UUPLH, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 31 UUPLH dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil, keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan.
Penggunaan jasa pihak ketiga netral dalam penyelesaian sengketa lingkungan sebatas yang dikehendaki para pihak dan tergantung pada kebutuhan kasus perkasus. Di negara-negara maju, ternyata mengutamakan sarana hukum mediasi sebagai upaya penyelesaian. sengketa lingkungan yang efektif. Hal ini wajar, mengingat, mediasi memiliki keunggulan-keunggulan komperatif apabila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara arbitrasi dan litigasi.

PENUTUP

Pengkajian ini menyiratkan betapa pentingnya perlindungan hukum pada korban pencemaran-perusakan lingkungan sebagai manifestasi prohektif hak atas lingkungan (hidup) yang baik dan sehat. Namun sayangnya, kualitas normatif pengaturan UUPLH terhadap mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan dirasakan kurang kondusif dan signifikan bagi pengembangan kesadaran lingkungan. Terlalu banyak kendala yang harus dihadapi oleh korban pencemaran-perusakan lingkungan dalam penyelesaian sengketa lingkungan: yuridis, ekonomis maupun teknologis. Kenyataan ini menyebabkan korban
pencemaran-perusakan lingkungan seringkali enggan menyelesaikan sengketa lingkungan melalui jalurhukum. Terdapatnya kelemahan dan kekeliruan perumusan dalam UUPLH
semakin menyadarkan perlunya dilakukan percepatan upaya-upaya merevisi UUPLH agar keberlakuannya efektif. Melalui pengaturan hukum yang tangguh, keberadaan UUPLH akan diapreasiasikan dan dapat dijadikan momentum memproyeksi Indonesia yang seimbang dengan sumberdaya ekologis yang menopangnya, dan bukan yang menggerogoti tiang pancang masa depan. Keadaan tersebut tidak dapat terjadi tanpa transformasi prioritas dan nilai pribadi yang “akrab dan ramah lingkungan”. Ketentuan UUPLH yang merupakan tumpuan harapan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan perlu terus dikaji agar mampu mewujudkan manusia Indonesia sebagai “pembina lingkungan”.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbel, 1991, Blacks Law Dictionary, St. Paul, Minn: West Publishing Co.
Brown, Lester R, 1992, Tantangan Masalah Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Brussaard, W. , at al., 1996, Mllieurecht, vierde druk, Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink.
Goldberg, Stephen B, et al.., 1992, Dispute Resoltition: Negotiation, Mediation, and Other Precesses, Toronto-London: Little, Brown and Company, Boston.
Lovenheim, Peter, 1989, Mediate, Don’t Litigate: How to Resolve Dispute Quikly., Privately, and Inexpensively Without Going to Court, New York: McGraw- Hill, In.
Rahmadi, Takdir, 1996, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Makalah Penataran Hukum Lingkungan, Proyek kerjasama Hukum Indonesia – Belanda, Surabaya.
Rangkuti, Siti Sundari, 1978, HetBiginsel “De Vervuiler Betaalt”, Rijksuniversiteit Te Leiden, Faculteit Der Rechtsgeleerheid.
————, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press.
————, 1999, Reformasi Bidang Hukum Lingkungan, Suara Pembaruan, 26 Maret.
Santosa, Mas Achmad, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions), Jakarta: ICEL.
————, & Sulaiman N. Sembiring, 1997, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing), Jakarta: ICEL.
————, et al., 1997, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: ICEL.
Ury, William L. et al., 1988, Getting Disputes Resolved, San Franoisco: Jossey- Bass Publisher.
Wijoyo, Suparto, 1997, Penegakan Hnkum Lingkungan., Makalah Pelatihan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Bagi Radio Siaran dan Televisi, Batu.
————, 1997, Kesiapan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menjelang Tahun 2003, Makalah Kuliah Umum Mahasiswa Baru, IKIP Malang.
————, 1997, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), Pelatihan Teknik Membuat Paket Siaran dan Lomba Paket Siaran Pengendalian Pencemaran Lingkungan Bagi Radio Siaran.
————, 1997, Karaktenstik Hukum Acara Peraidilan Admininistrasi, Cetakan Pertama, Arlangga University Press, Surabaya.
————, 1997, Aspek Keperda taan Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah, Sarasehan Sosialisasi UUPLH, PPLH-Lemlit Unair, PCI Project, Bapedalda.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Lingkungan … — Prasetijo Rijadi 157
————, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental Disputes}, Surabaya: Airlangga University Press –Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.
————, 1999, “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Menurut UUPLH”, Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Tahun V No. 1 Agustus.
————, 2000, “Penyelesaian Yuridis Kasus Lingkungan”, Harian Umum Duta, Edisi 4 dan 5 Februari.
Yazid, T.M. Luthfi, 1996, “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR”, Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Tahun III No. 1.
Zen, M.T. (Ed.), 1995, Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar